Jumat, 10 Januari 2014

Ramadhan

"..ini yang kurindukan, sebuah telaga yang sudah lama kuidamkan, mereguk air dari dasarnya, meredakan dahaga yang kering laksana gurun, kuagungkan nama-Mu Tuhan, seraya berucap syukur atas nikmat-Mu, memberi pesona dunia yang tak ada habisnya, dan jika ini memang jalanku, matikan langkahku ditanah ini, agar aku tak kembali berputar mengitari waktu untuk mencari telaga baru.."

"..wahai Engkau yang kusebut Tuhan, jangan biarkan aku mabuk kepayang atas nikmat dari telaga ini, telaga yang kelak akan menyejukkanku ditengah badai Matahari-Mu yang arogan itu.."

"..wahai Engkau, Pemilik Semesta Alam, perkenankanlah pintaku ini.. Pada semenanjung kasih diawal Bulan yang penuh Berkah ini.. Ramadhan.."

[8 Juli 2013]

Aksara Kepada Purnama

Sedayu rinduku membuncah mengingatmu pada jumpa awal itu.
Riuh redam seakan tak bernyawa.
Hanya diam yang kupunya.

Sudah seminggu kugenggam wanita yang ingin kuajak berlari.
Sudah seminggu kisah kita sebisanya.

Setaman bunga-pun tak mungkin bisa menggantikan kehadiranmu.
Tapi semoga nanti dengan setangkai bunga, aku mampu hadir didalam relungmu.
Pada diwaktu yang tidak bisa dikompromi.

Tak inginkku berimaji; lantas pula engkau.
Tapi jalani saja ini dengan sesuatu yang berisi.
Mendatangkan pandang dari pelbagai sisi.
Mencoba mencintai.

Wahai engkau yang kusebut Purnama.
Aku tak sedang bermain kata.
Tapi aku penikmat kata; hingga rasanya kuharus mencipta.

Wahai engkau yang kusebut Purnama.
Kedatanganmu sungguh kutunggu.
Apa mungkin ini jawaban Tuhan?

Wahai engkau yang kusebut Purnama.
Efekmu getir dan menjadi dilema.
Saat badai datang ditengah luas lautan.
Seperti itu engkau mempasang-surutkan hatiku.

Maka dalam kesebenarannya; bukan aku yang pantas kau puja.
Jadilah seperti biasa saja.
Tanpa ada harus kata puja.

Karena aku ini sangat sederhana.
Tanpa apapun yang kupunya.
Aku belajar mencinta.
Membangun harap demi masa ke masa.

Wahai engkau yang kusebut Purnama.
Terimakasih atas sudi dirimu; yang mau menghampiri.
Atas waktu yang kau beri.
Dengan hati yang penuh hati - hati.

Aku mencintaimu tanpa batas pada bayang imaji.
Tapi tak inginku seperti tayangan realiti.

[30 Juli 2013]

Sebentuk Saja

entah terletak dimana; yang jelas terasa membara.
entah berada dimana; yang pasti kamu adalah bagiannya.

kusebut ini; sebentuk saja.
bukan sebuah ruang; ataupun tempat.
bentuknya pun abstrak.
seberapa besar; dan dalamnya.
ambigu saja.

sebentuk saja; ada rasa.

entah pantas disebut apa; tidak jelas sudah.
entah jelas darimana; tapi kamu adalah bagiannya.


sebentuk saja; lengkung senyummu.
sebentuk saja; gerak layu tubuhmu.

pada tatap; juga hal yang sama.
pada kata; mewakili sebentuk saja.


sebentuk saja; ada harap.

melayang pandang sekitarku.
pasti kamu; bagian dari penglihatannya.
entah apa yang dituju.
jelas juga bukan mauku; memilihmu.
tapi tetiba saja; hal ini terjadi.

lalu,
entah apa yang dinanti;
menunggu sesuatu yang tak pasti.
menunggu hadirnya jawab; atas seluruh pertanyaan.


sebentuk saja; harap yang dinanti.
agar tidak selalu menjadi mimpi.
maka permudahlah; untuk dapat mengetahui.

sebentuk saja; kamu adalah tetap bagiannya.
dan terus akan menjadi bagiannya.

sebentuk saja; ada harap dan kasih.
sebentuk saja; nihil perihalnya.

[11.12.13]

Kamis, 05 April 2012

Akhiran Warna Selasar

Dominan
Menutupi
Menyebar
Menyeluruh
Sungguh...

Kami berdua adalah pemain warna yang hebat
Pendeskripsian kami tentang warna
memang tak berujung
Tapi adalah kami yang hebat
Berusaha melengkapi warna
Berusaha melengkapi warna
Membubuhkan setitik atau ribuan titik warna
Hingga menjadi satu kesatuan padu

Sungguh - sungguh tak mengira
bahkan tak terduga, lelaki itu pemain ulung
tak sepandai diriku
tak banyak berucap jadinya aku
melihat lihai-nya dia membubuhkan warna

Aku rasa, Kami adalah pemain yang cocok
Aku rasa, atau sepenebakkanku inilah

Akhiran Warna Selasar

- K.O.A dan A.O.K -
 

Selasar Berwarna Selasar

Sepersekian langit menghentikan Awannya
 Membuat kumparan Awan yang sedikit gelap
Lalu tercipta warna Jingga membelah
Tidak kusangka selasar ini begitu indah
Wangi dan sangat menyegarkan mata
Berbeda jauh dengan Selasarku
Apalagi diluaran selasar kami
Pantas saja dia selalu gembira
Tak ada duka dan lara
Rasanya aku ini betah
Ingin pula memainkan warna disini
Hingga bercampur dengan miliknya

Apa dia mau?
Apa boleh?

Pelan kutelisik ronanya
Semakin mengasyikkan
Semakin menggoda untuk dinodai
Selasar berwarna selasar
Warna yang tercipta adalah warna
Dari pada pemilik yang memancarkan
Selasar memang sejuta warna
Selasar memang warna

Pasti akan kucampuri selasar ini dengan permainanku..
 

Selasar Akhir Selasar

bukan kemauanku.
bukan pula keinginanku.
berhenti disini bermain.
berhenti disini menggambarkan duniaku.
 
aku tak hanya ingin membuang waktu.
hingga kau selalu menungguku.
 
selasar sejuta kenangan.
selasar sejuta gambar dan warna.
selasar sejuta perasaan pula.
 
kini aku mencoba merapikan rupaku.
melepas topeng sementaraku ini.
berkaca dan sedikit menoleh kearahmu.
kebagian selasarmu.
 
sempat kulihat selasarku ini.
sedikit tampak tak rapih.
yang pasti dari bagian punyamu.
 
sebanyak aku berkemas, semakin deras peluh.
makin kupersiapkan, semakin tak jelas.
aku mencoba memakai pakaian terbaikku.
tak pantas.
karena keseringan aku menggunakan yang lusuh.
yang pantas dan klop dengan topengku ini.
 
waktu, hari, hujan, warna, gerak
dan sejuta hasil pemikiran dalam Selasar ini.
 
saat aku berperilaku.
meninggalkan tempat ini.
dan berjalan kearah bagianmu.
 
tegakkan dada.
pastikan langkah.
semoga tercipta.
 
 
Kirana Oakisetya Abrahamis  

Selasar Datang Selasar

sudah kukira, kau akan mengetuk bagianku,
sudah kukira semua,
tapi ada satu yang janggal,
mengapa rupamu beda?
berbeda dengan seperti biasanya,
berbeda seperti saat kau membuat warna,

kukira kau ini aneh,
kukira pula kau ini gila,
sepersekian kedipan mataku,
kadang kau murung,
kadang kau tersenyum lepas,

sedikit kusarakan bahagia yang terpancar,
dari gerak tubuhmu,
dari rona mukamu,

mengapa?

apa karena aku?

tapi tak jadi berapa soal,
dan pasti sekarang tak ada jawab,
jika aku tanyakan,

cukup senang kau datang,
kuharap lama,
tak terburu-buru,
karena aku banyak pertimbangan,
untuk sekali membuka bagianku,

betapa beruntung kamu,
atas kejenuhanku menunggu,
atas hebatnya kau memainkan warnamu,

tersenyumlah,
jangan murung seperti itu,
apa karena aku?
yang kurang?

Andalusia Odittazula Karenina