Rabu, 29 September 2010

Selasar Sambut Sore

masih juga kau menatapku seperti sore kemarin,
masih juga kau menciptakan warna tentang dirimu,
masih saja juga kau coba menjelaskan tentang duniamu kepadaku,
tahukah kau bahwa aku tidak suka,
tapi aku tak bisa mengatakannya kepadamu,
bukannya aku sungkan juga,
tapi aku tak bisa mengatakan itu kepadamu,
kubiarkan bangku ini kosong,
dan selalu kusediakan,
setidaknya untukmu,
tapi kau asyik membuat warna yang tidak jelas itu,
seolah kau saja yang paling pintar,
aku tak mampu menyapamu,
aku tak bisa juga menegurmu,
seharusnya kau yang sadar ada tempat kosong disebelahku ini,
dan aku sudah sungguh sangat terbuka,
sudah sekali ini,
bahkan kau tidak menggubrisku sedikitpun,
tapi biarkanlah,
karena kutahu kau sedang asyik dengan duniamu,
memang kita tidak mengenal satu dengan yang lainnya,
dan mengapa aku tidak ragu untuk berbagi tempat denganmu,
tidakkan ini keyakinan yang terlalu mengada,
belum juga bertegur sapa,
tidak juga berjabat tangan,
yang ada hanya bertatapan sesekali,
jika aku tidak salah menerka,
maka pantaskanlah dia untukku,
untuk duduk dan memperhatikan,
segala kejanggalan diluaran Selasar ini.

Andalusia Odittazulla Karenina

Senin, 27 September 2010

Selasar Bahasa Indah

tak lagi indah selain berada disini.
ditempat dimana aku bisa menemukan sesuatu yang indah.
dimana aku bisa berdiam diri tapi tak kosong.
disini aku bisa berleluasa.
berbuat seenak sejadinya sepuasnya.
tidak berlaku keras tapinya.
hanya coba menghibur diri dikesendirian ini.
sambil kuciptakan warna yang tepat untuk duniaku ini.
agar orang yang menilaiku tidak salah menerka.
  dan kurapihkan susunan awalku.
tak seharusnya kutinggikan, apa yang tidak tinggi.
tak semestinya aku banggakan apa yang tidak patut dibanggakan.
apa ini merupakan kesalahan?
yang semua sudah terjadi seada-adanya?
menelaah apa yang kukira itu salah sekarang ini.


ditempat ini Selasar Bangku ini.
kuderapkan langkah kosongku.
kucoba kembangkan lagi sayap kemunafikanku.
kubuang segala sifat ketidak kasihananku.
tak perduli, tak perduli.
bahkan merekapun tak perduli dengan segala bau masam tubuhku.
dan kukira, tak kan jadi soal jika kalian kehilanganku.
kukira akan mengurangi beban semua.


Selasar Bahasa Indah.
kuciptakan dengan segenap kekacauan yang menderu dera.
kuteliti dengan semua ketelitianku.
yang berangsur - angsur jatuh, karena memang seharusnya jatuh.
tak perduli siapa kalian.
keegoisanku kembali terpanggil untuk menjatuhkan kalian.
Selasar Bahasa Indah.
akan kutorehkan berjuta daya emosionalitas yang tak bisa terbendung lagi.
kukeluarkan walaupun aku akan sesak nafas dikemudiannya.
dan.
tempat ini memang indah.
dimana aku bisa menentang segala penafsiran orang.
dan kepuasaan itu bisa datang setelah secepatnya.


Kirana Oakisetya Abrahamis

Sabtu, 25 September 2010

Selasar Bangku Sore

 
kutahu pelbagai macam warna yang kulihat dan kudengar dari orang lain, 
sayangnya, aku tidak bisa berucap seperti mereka,
dan kutahu juga langit sore itu indah,
makanya aku suka sekali berdudukan sendiri dibangku Selasar Taman ini,
lagi pula aku suka dengan duniaku,
duniaku yang penuh dengan kebisingan yang luar biasa,
serta juga,
aku sadar jika kau selalu perhatikan gerak - gerik yang kubuat,
tapi kau tak tahu aku sepenuhnya,
dan jangan coba menerka segala penafsiranku,
aku tidak suka, 
seperti omong kosong belaka yang kau ciptakan,
asal - asalan,
jika kau ingin duduk disampingku menemaniku,
ya silahkan,
tapi jangan ungkapkan penilaianmu tentang dunia ini dihadapku,
bukan maksud menyempitkan gerak dudukmu,
tapi jika kau berungkap tentang duniamu,
tak lain tak bukan kau sama hal nya dengan mereka semua,
lebih baik duduk dan perhatikan saja,
hingga duniaku atau duniamu usai.

Andalusia Odittazulla Karenina

Kamis, 23 September 2010

Tidak Semua Begitu

   Aku ini bukan seorang penikmat materi fisik, seperti apa yang kau semburkan kepadaku pagi tadi. Menyentuhmu saja aku sungkan. Apalagi menikmati. Bertemupun dapat terhitung tangan. Seenaknya saja kau menilaiku seperti itu. Seolah kau tak ingin disalahkan. Hingga memutar balikkan fakta begini. Aku paham sekali bentuk fisikmu itu sangat memilukan mata yang menatap. Jadi, tak mungkin orang mengira kau yang salah atas apa yang kau tuduhkan padaku. Pasti aku.

   Hebat sekali kau cepat sadari atas jawaban lama ketika rasa cinta yang mulai memudar itu salah siapa. Tak lain adalah pria yang sepatutnya disalahkan. Aku ini sangat menghargai perasaan wanita. Berbekal pengalaman yang lalu. Bukan seperti yang kau semburkan kepadaku tadi. Aku pun mengerti kau yang bermateri. Tapi, tak pantas juga kau menilaiku semacam itu. Saat hati terpasung karenamu. Tetap kumantapkan hatiku untukmu.  Walaupun cercaan datang terus menerus. Tak mengapa. Asalkan aku tetap memilikimu. Aku tidak memanfaatkan apapun darimu. Tak pernah terlintas bahkan. Begitu dalam rasa ini, hingga tak mampu kugenggam tanganmu. Sekalipun kau yang menyodorkannya dahulu. Tak sempat juga kumelihat senyum lepasmu. Terlalu terburu kau mengadiliku.

   Tak ada yang tahu pasti, siapa yang salah, siapa yang  benar. Yang jelas kuhanya tak menyangka kau melakukan ini kepadaku. Saksi pun juga tak mungkin ada. Karena setahuku, hubungan ini pun terselubung dari segala duniamu dan duniaku. Jadi, apa yang terlintas dibenakmu? Masa lalumu kah? Atau ketakutanmu kah? Penyakit lamamu kah yang sering berganti? Atau mungkin kesalahan yang terletak padaku?

   Setelah pagi itu. Aku berusaha untuk tidak ingin tahu dimana kau berada. Dan tak juga ingin bertanya – tanya, sedang apa kau disana. Malas saja. Bukan malas tepatnya, tapi memang tidak ingin. Buang waktu saja. Tetapi, pasti saja ada kejadian yang mengingatkan tentangmu. Entah apa. Tapi, tak mungkin kumelupakan saat kita bersama untuk beberapa hari saja. Saat kutatap lekukmu yang tak sedikit perubahannya. Aneh. Ternyata tampilan fisik serta kelakuanmu berbanding terbalik dengan sifat yang kau miliki. Selalu kupertimbangkan tawaran teman agar tak menjalin denganmu. Tapi, rasanya berat saja membiarkan kesempatan selagi terbalasnya suratku.

   Tak menetu arahmu saat kau dalam genggamanku. Kutawarkan kau untuk mengatur, kau tidak ingin. Diaturpun kau enggan. Bahkan aku tak yakin bisa mengerti kemauanmu. Saatku tak tahu apa yang mesti kuperbuat, aku terus tetap mengejarmu dan meyakinkanmu bahwa aku bukan pria seperti yang kau sangka. Tetap gigih mengejarmu. Hingga aku terduduk memojok disudut ambang keputusasaan. Disudut itu kukaji kembali apa yang membuatmu begitu tega terhadapku. Dan selalu kupertimbangkan baik buruknya jika terus bersamamu. Bahwasanya, hati ini bisa termakan daya pikatmu untuk melakukan apa saja demi cinta yang begitu dalam. Bukannya aku takut mengorbankan segala apa yang aku miliki. Tapi, memang tidak pantas saja jika terlalu heboh mendewakan cinta diatas segalanya. Mungkin, nantinya agak miring sebelah antara prioritas utama hidup dengan cinta. Untuk yang satu ini tak ada tawar – menawar dalam menela’ah cinta. Egoisme untuk menjadi yang paling terbaik dalam hidup itu merupakan jalan terbaik bagi setiap manusia. Bahkan tak segan – segan menaruh cinta diurutan terbelakang sebelum kesuksesan tercapai. Karena dianggap sebagai penghalang saja, menurutku.

   Apa aku terlalu munafik seperti apa yang dikatakan temanku? Menurutku tidak juga, karena memang begitu keadaannya. Ini bukan fiktif saja. Atau karangan belaka, demi meraup uang yang tak terduga. Setelah kudapat satu per satu jawaban dari akhir perenunganku saat terpojok disudut ambang  keputusasaan. Kuputuskan untuk berlari kearah semula, untuk tetap berjalan diprioritas utama hidupku itu. Yaa, walaupun tidak berlari juga tak mengapa. Akhirnya, kutaruh juga diurutan paling terbelakang rasa cinta itu. Biarkan saja berdiam diri. Mungkin bisa membuat ia puas setelah memakiku. Yang jelas – jelas bukan kepribadianku. Kupastikan bahwa itu hanya alasan klasik ia saja demi membangun diri ini. Atau mungkin ia hanya ingin membalas dendam atas pesakitan hatinya karena pria lain, yang mungkin benar – benar jelas menikmati indah fisiknya saja. Atau mungkin ia sudah enggan bersamaku lagi. Jadi memberi alasan yang sungguh sempurna. Alasan klasik jika cinta yang memudar itu yang salah siapa.

   Terkadang manusia modern pun masih menganut paham lama itu, seperti apa yang kupaparkan tadi. Ada kalanya rasa cinta itu memudar bukan hanya dari pihak yang memulai saja. Bahkan yang hanya menerima kedatangan cinta juga bisa memudarkan rasa cinta itu. Lain cerita, jika kita pernah tersakiti karena suatu kejadian terdahulu, tapi tidak sepatutnya pula membalas pesakitan hati kita karena orang lama kepada orang baru. Dunia punya segudang cerita terdahulu, yang bahkan masih dianut pahamnya. Begitu juga cinta, memiliki kejadian lalu yang masih menjadi bahan utama untuk mempertimbangkan kejanggalan terhadapnya. Jadi, berpandai – pandailah kita mengaris bawahi semua kejadian yang pernah terjadi, mau besar ataupun kecil. Karena sesungguhnya Tuhan tidak menciptakan skenario yang sesuai urutan setiap episodenya. Kadang ada yang terjadi berkepanjangan. Dan ada pula yang tidak tersusun rapih urutannya, maka kita mesti perlu merunutnya menjadi satu kesatuan yang sempurna. Lalu memahami apa yang terkandung didalamnya, sehingga kita mampu menyusun rangkaian rencana untuk masa depan kita. 

Selasa, 21 September 2010

Elegi

    Cinta kadang membuatku senang tak keruan. Terbahak – bahak tersenyum lebar diatas keterpurukan orang lain. Tapi, cinta bisa sebaliknya. Menyakitkan. Walaupun hanya lewat, kadang ampuh membekas dihati.

    Aku jenuh atas cinta mengenai paradigma orang fasih. Selalu hanya bisa memberi saran ataupun nasihat. Apakah mereka tidak pernah merasakan apa yang kurasa. Atau hanya diam bisu karena tidak ingin berungkap aslinya mereka. Ataukah hanya sekedar tahu bahwa aku ini sedang terpuruk jatuh. Bukannya aku tidak merasa ikhlas, bahwa cinta memang membumbui masa remaja yang indah. Tapi, apakah cinta selalu begitu. Kadang senang bukan kepalang. Kadang jatuh luluh berantakan lalu terdiam.

    Aku tahu cinta begitu mengasyikkan. Tapi, aku bingung dimana asyiknya? Bagiku cinta itu dapat membuat linglung. Lupa akan segala hal yang lebih daripada itu. Prioritas utama hilang termakan karena cinta. Bagiku, cinta adalah sengsara, membuat semaunya, seolah – olah mudah tetapi susah. Cinta itu indah. Cinta itu suci. Tapi cinta itu mengenaskan. Pahit sepahit kehidupan didunia. Berkendak yang mungkin diluar kemampuan. Mengganggap halal segala cara demi cinta. Cinta memiliki kebutuhan. Realis. Konkrit. Terpenting bukti nyatanya. Cinta bukan hanya sekedar rayuan belaka. Cinta itu mempunyai tujuan terselubung didalamnya. Mungkin hanya pemilik – pemilik cinta yang tahu.

“Akan dibawa kemanakah cintaku ini?”

    Cinta memungkinkan sekali agar setiap orang selalu bersemangat atasnya. Tapi selain itu, cinta selalu membuat tertekan. Walaupun aku munafik, aku sangat membutuhkan cinta. Nasib cintaku mungkin indah bagi yang menyaksikan. Aku ini mudah jatuh cinta. Dan mudah juga mendapatkannya. Mudah sekali berbangga hati atas suatu hal yang kuanggap janggal mengenai cinta. Tetapi aku juga cepat jenuh karena cinta. Itu merupakan kelemahan yang menjadi senjata yang tak ternilai harganya.

    Aku terkadang memaksudkan cinta sebagai kasih – mengasihi secara global. Kata cinta bukan hanya identik dengan kata menjalin hubungan ataupun permersatu abadi dalam kehidupan. Aku mendeskriptifkan lebih dari hal sempit semacam itu.

    Cinta itu manis. Tapi, jika terlalu manis akan terasa pahit. Pahit sekali. Sehingga rasanya kita ingin meludah. Membuang rasa pahit itu. Lalu kemudian mencari kemanisan - kemanisan cinta yang lain. Yang baru. Yang masih terjaga manisnya. Itu selalu yang kurasa. Mengganggap cinta tak lebih dari sekedar bumbu penyedap dalam masa remaja yang indah. Cinta yang kuungkapkan ini, cinta yang selalu penuh dengan kegiatan hal – hal biologis ataupun semacamnya.

   Lalu, cinta juga memilukan. Cinta itu juga menyedihkan. Bagaimana tidak, aku masih merasakan cinta itu kerap hadir disetiap pandangan kami.

”Aku terus membuat dan menyakinkan bahwa cintaku untuknya masih seperti yang dulu dan tidak berubah”.

    Tetapi, ia memilih pergi menjauh dari apa yang telah kuberikan padanya. Karena ia mengerti atas kesalahan ucapanku sewaktu menyakinkannya.

” Aku terus membuat dan menyakinkan bahwa cintaku untuknya masih seperti yang dulu dan tidak berubah”.

   Harusnya aku pahami perkataanku dulu, lalu kemudian berucap. Dan harusnya aku tidak berkata bodoh seperti itu. Ia memang wanita yang pintar. Kata itu bukan hanya sekedar bualan belaka saja. Tapi sepengertianku, ia memang mengerti salahnya ucapanku.

   Menyakinkan hati kita terhadap orang lain itu diperbolehkan. Tapi juga mesti paham atas kejadian yang lalu, sewaktu kita masih menjalin ikatan bersamanya. Didasari perbuatanku yang salah, dan tidak sepantasnya aku berkata kalimat tadi. Wanita yang pintar akan berfikir kembali serta berulang kali mempertimbangkan. Bahwa kata – kata yang kuucapkan itu salah, yang mengartikan tentang kebodohan  yang tidak memahami kesalahan terdahulu. Bagaimana ingin terjalin kembali,  disaatku mengharapkan ia kembali,  malah salah berucap. Aku masih saja menyodorkan cintaku yang lama yang tidak akan pernah berubah. Maka dari itu, mungkin ia takut akan terulang saat menjalin bersama lagi.

    Kesalahan itulah yang kusesali sampai sekarang. Dan kutak tahu pasti, kapan saat hati kembang kempis karena cinta dan segala hal manusiawi didunia. Dan pada saat kesempatan itu datang, aku tak memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Harusnya aku berfikir dengan kesungguhan hati yang terdalam. Bukan hanya sekedar ingin melepaskan rasa jenuh atas kesendirian. Tapi, benar – benar menyakinkan hati bahwa ia yang ternyata kucintai.

    Elegi. Merupakan kata yang tepat untuk mewakili rasa ini. Tak mampu lagi kita berucap saat tersadar akan kesalahan sendiri. Tak ada lagi kemampuan tuk ungkapkan kembali. Mungkin takut salah lagi. Ataukah takut melawan ia yang jelas – jelas lebih pintar. Penyesalan yang tak mampu diperbaiki. Karena semua telah terlambat dan tak mungkin ada lagi kesempatan yang datang.

    Elegi. Tak mampu ditebak sampai mana mengorbankan segala yang kita punya. Selalu titip salam saja kepadanya. Tak mampu lagi membelai. Tak lagi kuasa menyentuh. Rasanya bibir membeku saat ingin menyapa. Mengingatnya pun tak ingin. Mengenangnya pun apalagi. Terasa sesal saja, membuang kesempatan itu.

    Elegi. Banyak menyita waktu. Hingga tercipta paparan nada diatas kumpulan kertas. Rasa yang tak dapat terbendung lagi. Dengan cara apa yang pantas agar ia dan pemilik hatinya yang baru mengetahui, bahwa penyesalan ini telat datang.  Adalah cara yang tepat ketika mempublikasikannya sambil berucap kata perpisahan dari kumpul akhir kami semua.

    Elegi. Buat sedu sedan banyak orang. Berlinang air mata saat itu terjadi. Bingung apa yang mesti dilakukan. Ingin diam saja tak bisa. Ada dorongan dari dalam hati karena tidak ingin disalahkan. Mau sesumbar bahwa kita menyesal, rasanya malu besar. Apa yang pasti dilakukan, Tuhan?

    Elegi. Kesadaran yang datangnya terlambat. Rasa sesal yang tak mampu diperbaiki. Kebingungan yang terus mendera hati. Merupakan Siklus Hati, yang sulit dapat dideskripsikan dalam ungkapan sehari – hari. Dan, begitu kita merasakannya. Pasti diperbuat bingung apa yang mesti dilakukan dan akan mengatakan apa.

Senin, 20 September 2010

Untuk Mereka Hilang Berseru

[28 April 2009 23.23 WIB]

Yang kutahu hanya punggung itu. Tak berani hadap muka. Yang kunikmati hanya punggung itu. Tak ada daya untuk yang lainnya. Buat apa mencari tahu tatapnya. Kalau dengan menikmati punggungnya saja puas. Buat apa kutatap sorotnya. Kalau dengan remang bayangnya sudah senang. Yang kutahu hanya punggungnya. Tak tahu pula ada bagian menarik lainnya. Biarlah kunikmati punggungnya. Tak mengapa, tak jadi soal. Asal ia tetap senang terjaga. Biar saja aku bosan pandangi punggungnya. Asal ia tertawa dengan dunianya. Jika daya memiliki timbul. Akan kugapai seluruh bagiannya. Tapi kurasa jangan, karena bisa merusak penyokong lain nantinya. Dan tak bisa lagi kunikmati punggungnya. Karena terhalang bias persahabatan. Kupaham betul bentuk punggung itu. Dikala mendekat aku hafal betul. Disaat jauh pun aku ingat. Sesekali kucondongkan tubuhku. Demi melihat bagian lainnya. Tapi, tetap saja tak mampu.

Cahaya punggungnya berubah. Tak kukenali lagi siapa pemiliknya. Apa aku lupa bentuk ringkihnya. Atau telah kudapat punggung dewasa bersinar pengganti. Tapi, tetap saja kukenali punggung itu kembali. Walaupun redup sekalipun. Lalu padam ditengah bagian – bagian lain pengganti. Pernah kulihat punggung itu leloncatan riang. Tapi, selalu saja dari kejauhan. Tidak menyatu denganku. Cukup dari kejauhan saja aku. Lain waktu, kurasakan rintihan punggungnya. Cukup iba kudengar. Mesti saja, tangan tak berani menepuk. Apalagi peluk rangkul erat. Makin banyak saja penghalang pandangku. Makin tertekan saja punggung itu. Rintihannya saja yang selalu kuingat. Kala ia menyendiri. Dan kurasakan senyum tipis uapnya. Disaat kumpul bersua.

Jarak pandangku memudar. Saat ia dalam persatuan yang sempurna. Tidak denganku. Melainkan orang baru dalam hidupnya. Rasanya, ingin kucabik tampilan rupaku. Karena mungkin tidak sesuai dengan harapnya. Tapi, apa boleh buat. Aku sudah tercipta untuk dunia. Yang hanya bisa menjaga cinta. Agar tidak rusak bungkusnya. Tak ada lagi harapkan sesuatu. Dari punggung ambisiku. Hanya bisa selalu kunikmati dari kejauhan. Tanpa menyentuh apalagi peluk rangkul erat. Kadang cinta memang tak sempurna. Yang kutahu hanya punggung saja. Dan ku tak tahu bagian lain. Jadi buat apa memilikinya.

Kembali parau suaraku terdengar. Pada hujan berbisik sunyi dalam hati. Pantulan ambisiku menyeruak.

“kugapai punggung itu suatu saat nanti dikala kami bertemu kelak.”

Tetapi tetap saja aku tak berani. Aku terlalu menghargai tinggi perasaannya. Jadi tak berani timbul dihadapnya. Tak mampu saja aku, Tuhan. Dan selalu kusampaikan cinta ini pada yang jelas – jelas tak berarti. Demi melupai dia yang jelas kutak berani. Selalu kutitipkan nelangsaku pada hamparan media putih ini. Agar jelas tertera bahwa aku memang pengecut. Tak berani ungkapkan isi hati pada ia yang ternyata kucintai. Ada angan dimana kuberharap penuh darinya. Sebisa mungkin sadari bahwa tetap jauh akan ketidakmungkinan memiliki ia, Cinta Hati. Selalu saja terbuang percuma. Tak sadarkah ia. Betapa kumenantinya. Menanti kedatangannya. Kini tampilanku dengan emosi disertai ambisi melahap. Cepat –cepat kuredam semua. Agar tak ada yang tersakiti. Lalu, kutenangkan sejenak. Sambil menelan beberapa asam. Terkikis saatku paham ia menyatu sempurna dengan cinta akan tampilan rupa.

“memang aku tak semenawan ia, tapi aku bisa menghargai tinggi perasaan hatinya.”

Sejenak kupasungkan hatiku menyendiri. Lalui hari tanpa otak yang berisi. Cukup lama, banyak kasturi lagi dihampiri. Semerbak kasturi ini syarat duniawi. Kejanggalan nalar manusia. Tak mungkin kukorbankan cita – cita demi ia yang mencintai. Aku ini peneliti bunga kasturi. Hanya dekat lalu menilainya. Dengan cukup beberapa observasi. Lalu, cepat dapat kupahami. Tak menyangka. Kasturi itu datang disaat malam lelap. Dan berbicara sebisa yang kumampu. Kuteliti, ternyata ia tidak pasti. Kupahami, makin tak berisi. Kuturuti, bisa menyakiti hati. Kutinggalkan ia dengan segala dunianya. Tapi tak kuambil sari patinya. Karena kasturi ini tidak asli tercipta dari Bumi.

Sekarang yang kutahu kasturiku dulu sudah memiliki kelopak penjaga. Kasturiku pandai silat bicara. Dapat terpedaya aku karenanya. Memang awalnya bangga. Waktuku dipenuhi dengan pujiannya. Tapi akhirnya kubenci tak terduga. Hingga malas mengenangnya.

Kecintaanku pada seseorang tak bisa cepat menguap begitu saja. Bahkan tak segan – segan menjadi kristal sesudah setelah semuanya berakhir. Setiap cinta punya kenangan dan patut dikenang. Tetapi tergantung mereka juga. Ingin atau tidak sama sekali, membuka debu pingitan lalu terseok akan cinta kelam mereka. Terkadang berkeinginan tapi takut terulang. Ada pula yang ingin mencoba terulang. Lalu merubah jalan putar haluan. Cinta memang abadi. Selagi punya fakta untuk mengenang. Walaupun tak selalu senang. Dan kadang berlinang pilu air mata.

Gelitik tawa selalu warnai hariku sekarang. Sore petang kala itu. Menunggu kumandang berserukan menyembah Tuhan. Aku terperangah pandangi genggaman tanganku. Dia. Datang kembali dengan sendiri. Terkejut sangat. Rasa hati ingin meledak. Surat cintaku berbalas pesan. Surat cinta bodoh itu dulu kembali sekarang. Ingin tertawa sangking heran. Dia. Mengingatkan kembali. Tidak percaya awalnya. Tapi suratku selalu menyakinkan. Bahwa dia datang kembali. Dan mengetuk dalam pelan hatiku. Seperti mabuk kepayang rasanya. Menelan dahaga lembut cinta. Berbinar hari ini. Aura wajah berganti.

“suratku kembali datang, walau meski ada pengorbanan.”

Sekian lama tak bersua membuat pangling satu dengan yang lain. Suratku banyak berubah sekarang. Agaknya lebih menarik dari kemasan amplopnya dulu. Senyum sendiri sambil menatap sorotnya. Kuputar – putar, balikkan sisi – sisinya ternyata semua berubah. Tampilan amplopnya mengikuti zaman sekarang. Isi tintanya pun kerlap – kerlip. Banyak pita diluarannya. Agak kekecilan pembungkus badan suratku itu. Dan saat dibuka, dengan maksud menyapa. Seringkali ia meletup kecil. Mengeluarkan gemericik semburan api emas. Jadi agak sungkan aku menelitinya. Aroma suratku agak menyengat. Kini suratku agaknya mulai terkenal karena isinya yang semua rahasia malam. Jauh dari jangkauanku sebelumnya.

Apa benar kabar miring tentangnya. Bahwa suratku dulu, sering berganti kotak pos. Atau hanya mungkin bualan belaka. Surat itu menghampiri kotak lusuh karatku sekarang. Yaa, semakin berisi saja badanku. Hampir termuntah karena terlalu banyak yang menitip pesan padaku. Tapi, selalu saja aku telan.

Selalu kutelisik setiap pagi. Bentuk dan rangkaiannya mulai terlihat sulit dipahami. Amplopnya terlalu tebal untuk kurusak. Jadi, mana aku tahu arah tujuannya. Menyapaku kembali. Membuat serasa karatku luntur tersiram. Menempatiku lagi. Serasa Bumi berhenti. Kurasa suratku terlalu nyenyak tidur. Tak tega kubangunkan kala pagi menyeruak. Bahkan malam terlalu dingin untuknya. Dan siangpun terlalu sayang untuk merusak bungkusnya.

“selalu kujaga kau cinta dalam dekapan hangat tubuhku walaupun aku terlunta.”

Keesokkannya suratku pergi dari kotak ini. Mungkin ketempat yang ditujunya. Ketempat dimana ia cocok dengan dunianya. Bergabung seperti kumpulan surat kerlap – kerlip dengan semua kehebatan tampilan luar mereka.

Punggung itu tersapu.

Kasturiku punya kelopak penjaga baru.

Suratku dulu bergabung ditengah kerumunannya.

Dan dalam penantian baruku. Punya harapan baru. Untuk tidak bodoh tapi selektif sikap.

Dalam menikmati bagian tertentu.

Dalam menilai sesuatu.

dan,

Dalam menjadi tempat berlabuh.