Senin, 20 September 2010

Untuk Mereka Hilang Berseru

[28 April 2009 23.23 WIB]

Yang kutahu hanya punggung itu. Tak berani hadap muka. Yang kunikmati hanya punggung itu. Tak ada daya untuk yang lainnya. Buat apa mencari tahu tatapnya. Kalau dengan menikmati punggungnya saja puas. Buat apa kutatap sorotnya. Kalau dengan remang bayangnya sudah senang. Yang kutahu hanya punggungnya. Tak tahu pula ada bagian menarik lainnya. Biarlah kunikmati punggungnya. Tak mengapa, tak jadi soal. Asal ia tetap senang terjaga. Biar saja aku bosan pandangi punggungnya. Asal ia tertawa dengan dunianya. Jika daya memiliki timbul. Akan kugapai seluruh bagiannya. Tapi kurasa jangan, karena bisa merusak penyokong lain nantinya. Dan tak bisa lagi kunikmati punggungnya. Karena terhalang bias persahabatan. Kupaham betul bentuk punggung itu. Dikala mendekat aku hafal betul. Disaat jauh pun aku ingat. Sesekali kucondongkan tubuhku. Demi melihat bagian lainnya. Tapi, tetap saja tak mampu.

Cahaya punggungnya berubah. Tak kukenali lagi siapa pemiliknya. Apa aku lupa bentuk ringkihnya. Atau telah kudapat punggung dewasa bersinar pengganti. Tapi, tetap saja kukenali punggung itu kembali. Walaupun redup sekalipun. Lalu padam ditengah bagian – bagian lain pengganti. Pernah kulihat punggung itu leloncatan riang. Tapi, selalu saja dari kejauhan. Tidak menyatu denganku. Cukup dari kejauhan saja aku. Lain waktu, kurasakan rintihan punggungnya. Cukup iba kudengar. Mesti saja, tangan tak berani menepuk. Apalagi peluk rangkul erat. Makin banyak saja penghalang pandangku. Makin tertekan saja punggung itu. Rintihannya saja yang selalu kuingat. Kala ia menyendiri. Dan kurasakan senyum tipis uapnya. Disaat kumpul bersua.

Jarak pandangku memudar. Saat ia dalam persatuan yang sempurna. Tidak denganku. Melainkan orang baru dalam hidupnya. Rasanya, ingin kucabik tampilan rupaku. Karena mungkin tidak sesuai dengan harapnya. Tapi, apa boleh buat. Aku sudah tercipta untuk dunia. Yang hanya bisa menjaga cinta. Agar tidak rusak bungkusnya. Tak ada lagi harapkan sesuatu. Dari punggung ambisiku. Hanya bisa selalu kunikmati dari kejauhan. Tanpa menyentuh apalagi peluk rangkul erat. Kadang cinta memang tak sempurna. Yang kutahu hanya punggung saja. Dan ku tak tahu bagian lain. Jadi buat apa memilikinya.

Kembali parau suaraku terdengar. Pada hujan berbisik sunyi dalam hati. Pantulan ambisiku menyeruak.

“kugapai punggung itu suatu saat nanti dikala kami bertemu kelak.”

Tetapi tetap saja aku tak berani. Aku terlalu menghargai tinggi perasaannya. Jadi tak berani timbul dihadapnya. Tak mampu saja aku, Tuhan. Dan selalu kusampaikan cinta ini pada yang jelas – jelas tak berarti. Demi melupai dia yang jelas kutak berani. Selalu kutitipkan nelangsaku pada hamparan media putih ini. Agar jelas tertera bahwa aku memang pengecut. Tak berani ungkapkan isi hati pada ia yang ternyata kucintai. Ada angan dimana kuberharap penuh darinya. Sebisa mungkin sadari bahwa tetap jauh akan ketidakmungkinan memiliki ia, Cinta Hati. Selalu saja terbuang percuma. Tak sadarkah ia. Betapa kumenantinya. Menanti kedatangannya. Kini tampilanku dengan emosi disertai ambisi melahap. Cepat –cepat kuredam semua. Agar tak ada yang tersakiti. Lalu, kutenangkan sejenak. Sambil menelan beberapa asam. Terkikis saatku paham ia menyatu sempurna dengan cinta akan tampilan rupa.

“memang aku tak semenawan ia, tapi aku bisa menghargai tinggi perasaan hatinya.”

Sejenak kupasungkan hatiku menyendiri. Lalui hari tanpa otak yang berisi. Cukup lama, banyak kasturi lagi dihampiri. Semerbak kasturi ini syarat duniawi. Kejanggalan nalar manusia. Tak mungkin kukorbankan cita – cita demi ia yang mencintai. Aku ini peneliti bunga kasturi. Hanya dekat lalu menilainya. Dengan cukup beberapa observasi. Lalu, cepat dapat kupahami. Tak menyangka. Kasturi itu datang disaat malam lelap. Dan berbicara sebisa yang kumampu. Kuteliti, ternyata ia tidak pasti. Kupahami, makin tak berisi. Kuturuti, bisa menyakiti hati. Kutinggalkan ia dengan segala dunianya. Tapi tak kuambil sari patinya. Karena kasturi ini tidak asli tercipta dari Bumi.

Sekarang yang kutahu kasturiku dulu sudah memiliki kelopak penjaga. Kasturiku pandai silat bicara. Dapat terpedaya aku karenanya. Memang awalnya bangga. Waktuku dipenuhi dengan pujiannya. Tapi akhirnya kubenci tak terduga. Hingga malas mengenangnya.

Kecintaanku pada seseorang tak bisa cepat menguap begitu saja. Bahkan tak segan – segan menjadi kristal sesudah setelah semuanya berakhir. Setiap cinta punya kenangan dan patut dikenang. Tetapi tergantung mereka juga. Ingin atau tidak sama sekali, membuka debu pingitan lalu terseok akan cinta kelam mereka. Terkadang berkeinginan tapi takut terulang. Ada pula yang ingin mencoba terulang. Lalu merubah jalan putar haluan. Cinta memang abadi. Selagi punya fakta untuk mengenang. Walaupun tak selalu senang. Dan kadang berlinang pilu air mata.

Gelitik tawa selalu warnai hariku sekarang. Sore petang kala itu. Menunggu kumandang berserukan menyembah Tuhan. Aku terperangah pandangi genggaman tanganku. Dia. Datang kembali dengan sendiri. Terkejut sangat. Rasa hati ingin meledak. Surat cintaku berbalas pesan. Surat cinta bodoh itu dulu kembali sekarang. Ingin tertawa sangking heran. Dia. Mengingatkan kembali. Tidak percaya awalnya. Tapi suratku selalu menyakinkan. Bahwa dia datang kembali. Dan mengetuk dalam pelan hatiku. Seperti mabuk kepayang rasanya. Menelan dahaga lembut cinta. Berbinar hari ini. Aura wajah berganti.

“suratku kembali datang, walau meski ada pengorbanan.”

Sekian lama tak bersua membuat pangling satu dengan yang lain. Suratku banyak berubah sekarang. Agaknya lebih menarik dari kemasan amplopnya dulu. Senyum sendiri sambil menatap sorotnya. Kuputar – putar, balikkan sisi – sisinya ternyata semua berubah. Tampilan amplopnya mengikuti zaman sekarang. Isi tintanya pun kerlap – kerlip. Banyak pita diluarannya. Agak kekecilan pembungkus badan suratku itu. Dan saat dibuka, dengan maksud menyapa. Seringkali ia meletup kecil. Mengeluarkan gemericik semburan api emas. Jadi agak sungkan aku menelitinya. Aroma suratku agak menyengat. Kini suratku agaknya mulai terkenal karena isinya yang semua rahasia malam. Jauh dari jangkauanku sebelumnya.

Apa benar kabar miring tentangnya. Bahwa suratku dulu, sering berganti kotak pos. Atau hanya mungkin bualan belaka. Surat itu menghampiri kotak lusuh karatku sekarang. Yaa, semakin berisi saja badanku. Hampir termuntah karena terlalu banyak yang menitip pesan padaku. Tapi, selalu saja aku telan.

Selalu kutelisik setiap pagi. Bentuk dan rangkaiannya mulai terlihat sulit dipahami. Amplopnya terlalu tebal untuk kurusak. Jadi, mana aku tahu arah tujuannya. Menyapaku kembali. Membuat serasa karatku luntur tersiram. Menempatiku lagi. Serasa Bumi berhenti. Kurasa suratku terlalu nyenyak tidur. Tak tega kubangunkan kala pagi menyeruak. Bahkan malam terlalu dingin untuknya. Dan siangpun terlalu sayang untuk merusak bungkusnya.

“selalu kujaga kau cinta dalam dekapan hangat tubuhku walaupun aku terlunta.”

Keesokkannya suratku pergi dari kotak ini. Mungkin ketempat yang ditujunya. Ketempat dimana ia cocok dengan dunianya. Bergabung seperti kumpulan surat kerlap – kerlip dengan semua kehebatan tampilan luar mereka.

Punggung itu tersapu.

Kasturiku punya kelopak penjaga baru.

Suratku dulu bergabung ditengah kerumunannya.

Dan dalam penantian baruku. Punya harapan baru. Untuk tidak bodoh tapi selektif sikap.

Dalam menikmati bagian tertentu.

Dalam menilai sesuatu.

dan,

Dalam menjadi tempat berlabuh.

3 komentar:

  1. aishh sadizz! ku suka yg ini..cinta cukup disimpan di dalam hati demi menghargai org tsb... good!

    BalasHapus
  2. dina dj hutabarat : huhu, terimakasih pujian teristimewa nya :) terus ikutin blog aku yah ka :)

    BalasHapus
  3. keren banget.. udah kaya novel aja ini.. mantep klo nntinya dijadiin novel.. hehe..
    terus berkarya ya ka!

    kata2nya luar biasa. it's so amazing. (aku gak berlebihan loh) . :D

    BalasHapus