Selasa, 21 September 2010

Elegi

    Cinta kadang membuatku senang tak keruan. Terbahak – bahak tersenyum lebar diatas keterpurukan orang lain. Tapi, cinta bisa sebaliknya. Menyakitkan. Walaupun hanya lewat, kadang ampuh membekas dihati.

    Aku jenuh atas cinta mengenai paradigma orang fasih. Selalu hanya bisa memberi saran ataupun nasihat. Apakah mereka tidak pernah merasakan apa yang kurasa. Atau hanya diam bisu karena tidak ingin berungkap aslinya mereka. Ataukah hanya sekedar tahu bahwa aku ini sedang terpuruk jatuh. Bukannya aku tidak merasa ikhlas, bahwa cinta memang membumbui masa remaja yang indah. Tapi, apakah cinta selalu begitu. Kadang senang bukan kepalang. Kadang jatuh luluh berantakan lalu terdiam.

    Aku tahu cinta begitu mengasyikkan. Tapi, aku bingung dimana asyiknya? Bagiku cinta itu dapat membuat linglung. Lupa akan segala hal yang lebih daripada itu. Prioritas utama hilang termakan karena cinta. Bagiku, cinta adalah sengsara, membuat semaunya, seolah – olah mudah tetapi susah. Cinta itu indah. Cinta itu suci. Tapi cinta itu mengenaskan. Pahit sepahit kehidupan didunia. Berkendak yang mungkin diluar kemampuan. Mengganggap halal segala cara demi cinta. Cinta memiliki kebutuhan. Realis. Konkrit. Terpenting bukti nyatanya. Cinta bukan hanya sekedar rayuan belaka. Cinta itu mempunyai tujuan terselubung didalamnya. Mungkin hanya pemilik – pemilik cinta yang tahu.

“Akan dibawa kemanakah cintaku ini?”

    Cinta memungkinkan sekali agar setiap orang selalu bersemangat atasnya. Tapi selain itu, cinta selalu membuat tertekan. Walaupun aku munafik, aku sangat membutuhkan cinta. Nasib cintaku mungkin indah bagi yang menyaksikan. Aku ini mudah jatuh cinta. Dan mudah juga mendapatkannya. Mudah sekali berbangga hati atas suatu hal yang kuanggap janggal mengenai cinta. Tetapi aku juga cepat jenuh karena cinta. Itu merupakan kelemahan yang menjadi senjata yang tak ternilai harganya.

    Aku terkadang memaksudkan cinta sebagai kasih – mengasihi secara global. Kata cinta bukan hanya identik dengan kata menjalin hubungan ataupun permersatu abadi dalam kehidupan. Aku mendeskriptifkan lebih dari hal sempit semacam itu.

    Cinta itu manis. Tapi, jika terlalu manis akan terasa pahit. Pahit sekali. Sehingga rasanya kita ingin meludah. Membuang rasa pahit itu. Lalu kemudian mencari kemanisan - kemanisan cinta yang lain. Yang baru. Yang masih terjaga manisnya. Itu selalu yang kurasa. Mengganggap cinta tak lebih dari sekedar bumbu penyedap dalam masa remaja yang indah. Cinta yang kuungkapkan ini, cinta yang selalu penuh dengan kegiatan hal – hal biologis ataupun semacamnya.

   Lalu, cinta juga memilukan. Cinta itu juga menyedihkan. Bagaimana tidak, aku masih merasakan cinta itu kerap hadir disetiap pandangan kami.

”Aku terus membuat dan menyakinkan bahwa cintaku untuknya masih seperti yang dulu dan tidak berubah”.

    Tetapi, ia memilih pergi menjauh dari apa yang telah kuberikan padanya. Karena ia mengerti atas kesalahan ucapanku sewaktu menyakinkannya.

” Aku terus membuat dan menyakinkan bahwa cintaku untuknya masih seperti yang dulu dan tidak berubah”.

   Harusnya aku pahami perkataanku dulu, lalu kemudian berucap. Dan harusnya aku tidak berkata bodoh seperti itu. Ia memang wanita yang pintar. Kata itu bukan hanya sekedar bualan belaka saja. Tapi sepengertianku, ia memang mengerti salahnya ucapanku.

   Menyakinkan hati kita terhadap orang lain itu diperbolehkan. Tapi juga mesti paham atas kejadian yang lalu, sewaktu kita masih menjalin ikatan bersamanya. Didasari perbuatanku yang salah, dan tidak sepantasnya aku berkata kalimat tadi. Wanita yang pintar akan berfikir kembali serta berulang kali mempertimbangkan. Bahwa kata – kata yang kuucapkan itu salah, yang mengartikan tentang kebodohan  yang tidak memahami kesalahan terdahulu. Bagaimana ingin terjalin kembali,  disaatku mengharapkan ia kembali,  malah salah berucap. Aku masih saja menyodorkan cintaku yang lama yang tidak akan pernah berubah. Maka dari itu, mungkin ia takut akan terulang saat menjalin bersama lagi.

    Kesalahan itulah yang kusesali sampai sekarang. Dan kutak tahu pasti, kapan saat hati kembang kempis karena cinta dan segala hal manusiawi didunia. Dan pada saat kesempatan itu datang, aku tak memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Harusnya aku berfikir dengan kesungguhan hati yang terdalam. Bukan hanya sekedar ingin melepaskan rasa jenuh atas kesendirian. Tapi, benar – benar menyakinkan hati bahwa ia yang ternyata kucintai.

    Elegi. Merupakan kata yang tepat untuk mewakili rasa ini. Tak mampu lagi kita berucap saat tersadar akan kesalahan sendiri. Tak ada lagi kemampuan tuk ungkapkan kembali. Mungkin takut salah lagi. Ataukah takut melawan ia yang jelas – jelas lebih pintar. Penyesalan yang tak mampu diperbaiki. Karena semua telah terlambat dan tak mungkin ada lagi kesempatan yang datang.

    Elegi. Tak mampu ditebak sampai mana mengorbankan segala yang kita punya. Selalu titip salam saja kepadanya. Tak mampu lagi membelai. Tak lagi kuasa menyentuh. Rasanya bibir membeku saat ingin menyapa. Mengingatnya pun tak ingin. Mengenangnya pun apalagi. Terasa sesal saja, membuang kesempatan itu.

    Elegi. Banyak menyita waktu. Hingga tercipta paparan nada diatas kumpulan kertas. Rasa yang tak dapat terbendung lagi. Dengan cara apa yang pantas agar ia dan pemilik hatinya yang baru mengetahui, bahwa penyesalan ini telat datang.  Adalah cara yang tepat ketika mempublikasikannya sambil berucap kata perpisahan dari kumpul akhir kami semua.

    Elegi. Buat sedu sedan banyak orang. Berlinang air mata saat itu terjadi. Bingung apa yang mesti dilakukan. Ingin diam saja tak bisa. Ada dorongan dari dalam hati karena tidak ingin disalahkan. Mau sesumbar bahwa kita menyesal, rasanya malu besar. Apa yang pasti dilakukan, Tuhan?

    Elegi. Kesadaran yang datangnya terlambat. Rasa sesal yang tak mampu diperbaiki. Kebingungan yang terus mendera hati. Merupakan Siklus Hati, yang sulit dapat dideskripsikan dalam ungkapan sehari – hari. Dan, begitu kita merasakannya. Pasti diperbuat bingung apa yang mesti dilakukan dan akan mengatakan apa.

2 komentar:

  1. waaaaah angga pahrizal! bisa juga buat cerpen..bagus2 gimme more than thisss, hayoo

    BalasHapus
  2. dina dj hutabarat : semoga yang pernah baca, terus ikutin blog saya :D hihi

    BalasHapus